logo-untag-surabaya

Developed By Direktorat Sistem Informasi YPTA 1945 Surabaya

logo-untag-surabaya

Detail Berita

Akses Warga Membaca Buku Masih Terbatas

AKSES WARGA MEMBACA BUKU MASIH TERBATAS

"Saat ini hanya ada 33.000 perpustakaan desa dari 84.000 desa/kelurahan. Hal ini membuat kesempatan warga mengakses buku terbatas"

JAKARTA, KOMPAS — Masalah literasi di Tanah Air bukan semata-mata rendahnya minat baca. Akses warga membaca buku juga terbatas. Masih banyak desa yang belum mempunyai perpustakaan. Selain itu, buku-buku di perpustakaan tidak juga sesuai dengan minat pemustaka sehingga berpotensi diabaikan.

Perpustakaan mempunyai peran sentral dalam mendongkrak literasi. Namun, jumlah perpustakaan desa di Indonesia belum memadai. Alhasil, akses warga terhadap buku atau bahan bacaan masih sangat jauh.

Pegiat literasi yang juga penasihat Good News From Indonesia (GNFI), Maman Suherman, mengatakan, Indonesia sering digaungkan sebagai negara dengan perpustakaan terbanyak kedua di dunia setelah India. Namun, hal itu tidak menjamin akses warga untuk membaca buku menjadi mudah.

Jumlah perpustakaan desa di Indonesia baru sekitar sekitar 33.000 unit. Padahal, Indonesia mempunyai sekitar 84.000 desa/kelurahan.

”Perpustakaan itu harus betul-betul inklusif. Artinya, aksesnya dekat dan bisa diakses oleh siapa saja. Ini menjadi hal penting kalau ingin meningkatkan literasi,” ujarnya dalam ”Bincang Literasi: Kini dan Nanti” di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Senin (11/12/2023).

Selain itu, juga masih banyak buku di perpustakaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pemustaka. Alhasil, buku-buku itu terancam tidak dibaca. Oleh karenanya, pengadaan buku perpustakaan tidak boleh asal-asalan sehingga memerlukan analisis kebutuhan.

”Apa gunanya banyak buku, tetapi tidak sesuai dengan kebutuhan pemustaka di tempat tersebut? Jadi, harus ada semacam riset atau survei tentang kebutuhan bahan bacaan,” ucapnya.

“Jumlah perpustakaan desa di Indonesia baru sekitar sekitar 33.000 unit. Padahal, Indonesia mempunyai sekitar 84.000 desa/kelurahan”

Maman menuturkan, analisis kebutuhan buku tersebut dapat dipenuhi pustakawan profesional. Sayangnya, belum semua perpustakaan dilengkapi dengan pustakawan profesional.

”Perpustakaan daerah, misalnya, cuma jadi tempat parkir pejabat atau pegawai yang menjelang pensiun. Dinasnya digabung dengan bidang lain. Anggarannya juga terbatas. Ini menunjukkan perpustakaan belum dijadikan prioritas,” ujarnya.

Selain perpustakaan, warga juga dapat mengakses buku melalui taman bacaan masyarakat (TBM). Lokasinya yang tersebar hingga pelosok desa diharapkan memudahkan warga untuk membaca buku. Saat ini terdapat sekitar 3.000 TBM di Tanah Air.

Akan tetapi, pendirian TBM juga dibelit oleh berbagai persoalan administrasi yang membutuhkan biaya. Selain itu, lapak-lapak buku juga sering dibubarkan aparat dengan berbagai alasan.

”Peran literasi masyarakat di akar rumput itu sangat penting. Merekalah yang tahu kebutuhan bahan bacaan di sekitarnya. Jadi, jangan diabaikan, apalagi dipersulit dengan persoalan administrasi,” ujarnya.

Menurut Maman, upaya mendongkrak literasi harus lintas sektor dengan melibatkan banyak kementerian dan lembaga. Bukan sekadar menambah jumlah buku, tetapi juga meningkatkan sumber daya manusia bidang perpustakaan sehingga dapat mengelolanya dengan profesional.

Masalah literasi di Indonesia tecermin dari berbagai data. Hasil Asesmen Nasional 2021, misalnya, menunjukkan satu dari dua siswa belum mencapai kompetensi minimum literasi.

Meski secara peringkat naik, skor Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia tahun 2022 juga menurun. Skor PISA 2022 dalam hal membaca turun 12 poin menjadi 359 dari tahun 2018 dengan skor 371.


Budaya membaca

Memudahkan warga mengakses buku juga sangat penting untuk menumbuhkan budaya membaca. Hal ini tidak saja memerlukan peran lembaga pendidikan, seperti sekolah, tetapi juga gerakan literasi keluarga dan masyarakat.

”Harus diberikan akses yang banyak kepada masyarakat untuk membudayakan membaca buku. Selama ini, aksesnya masih kurang,” ujar Ketua Umum Gerakan Pembudayaan Minat Baca Herlina Mustikasari.

Herlina menuturkan, menumbuhkan minat baca melalui proses bertahap. Literasi merupakan tahapan yang berkelanjutan sehingga harus digiatkan terus-menerus.

”Membudayakan membaca bukan sesuatu yang instan. Perlu proses dan kolaborasi berbagai pihak. Dari proses itu kemudian lahir perubahan paradigma masyarakat untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat,” ujarnya

Ketua Umum Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Syamsul Bahri mengatakan, Indonesia memiliki lebih dari 164.000 perpustakaan. Agar pemanfaatannya optimal, perpustakaan memerlukan dukungan pustakawan berkompeten untuk mengelolanya.

”Kompetensi yang dibutuhkan itu berubah begitu cepat. Kita tidak tahu bagaimana perkembangan teknologinya lima tahun ke depan. Jadi, kompetensi pustakawan harus dikembangkan terus,” ucapnya.

Syamsul menambahkan, pihaknya berupaya meningkatkan kompetensi pustakawan dengan berbagai pelatihan. Hal itu menjadi salah salah satu upaya memaksimalkan peran perpustakaan dalam meningkatkan literasi masyarakat

Editor: Ichwan Susanto

Sumber : Link