Tahun 1945-1949 adalah masa-masa sulit bagi Indonesia yang masih berusia belia. Indonesia harus berjibaku menghadapi agresi militer Belanda, dan bahkan bambu runcing pun kembali diangkat untuk menyelamatkan kemerdekaan bangsa.
Di tengah situasi kritis itu, para pendiri bangsa (founding fathers) menunjukkan kekuatan visi mereka. Mereka tidak hanya berperang dengan bambu runcing, tetapi juga mencerdaskan bangsa dengan ketajaman pena, sesuai dengan amanat yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Di Alun-alun Yogyakarta, 14 Maret 1948, Presiden Soekarno meluncurkan Gerakan Pemberantasan Buta Huruf. Hasilnya: sukses. Dari 90 persen populasi Indonesia buta huruf di saat itu, sekarang 97 persen masyarakat Indonesia melek huruf (Badan Pusat Statistik, 2018).
Namun, melek huruf belumlah cukup. Diperlukan melek literasi. Menurut Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), literasi meliputi kemampuan seseorang dalam membaca, memahami, dan menganalisis berbagai jenis teks, dan mampu menulis serta mengaplikasikan isi teks itu untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Tes Programme for International Student Assessment (PISA) yang diinisiasi OECD menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia berkemampuan literasi rendah.
Di sinilah letak persoalannya. Tes Programme for International Student Assessment (PISA) yang diinisiasi OECD menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia berkemampuan literasi rendah. Dengan kata lain mereka bisa membaca, tapi belum mampu memahami dan menganalisis apa yang dibaca serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Skor PISA Indonesia di bidang literasi berada di peringkat ke-74 dari 79 negara dalam tes PISA tahun 2018. Yang lebih memprihatinkan, skor PISA anak-anak Indonesia menurun dari 397 pada tahun 2015 menjadi 371 pada tahun 2018.
Kotak pandora PISA ini pun diperkuat oleh data dari UNESCO tahun 2019, bahwa minat baca bangsa Indonesia rendah: hanya 3 dari 10 orang Indonesia yang memiliki minat membaca. Memprihatinkan
Realisasi di lapangan
Namun, semua ini bukan berarti tidak ada solusi. Untuk meningkatkan kemampuan literasi di Indonesia, diperlukan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, organisasi nonpemerintah, dan masyarakat.
Upaya peningkatan kemampuan literasi juga harus dimulai sejak usia dini karena literasi merupakan dasar penting dalam kegiatan pembelajaran dan menjadi kunci dalam peningkatan kualitas pendidikan.
Walt Disney, produser film dan animator Amerika Serikat, pernah berucap, ”There is more treasure in books than in all the pirate’s loot on Treasure Island.”
Tak salah kalau ada pepatah ”buku adalah jendela dunia”. Dan kemampuan literasilah yang akan mendobrak jendela dunia, membuat anak-anak kita melihat harta karun ilmu pengetahuan yang akan membuka perspektif dan memantik ide-ide inovatif. Namun, untuk mencapai semua itu, harus ada minat untuk membaca, dan minat untuk membaca bisa dirangsang dengan buku bacaan yang bermutu.
Pemerintah sudah mengambil langkah nyata. Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) pada tahun 2021 menginisiasi program peningkatan literasi dengan merancang pedoman bersama lintas pemangku kepentingan dalam pembudayaan literasi.
Melalui Asesmen Nasional yang dimulai pada 2021, Kemendikbudristek memetakan kompetensi literasi secara keseluruhan di Indonesia berbasis sekolah dan letak geografis.
Selain itu, tahun 2022, Kemendikbudristek, dengan anggaran Rp 136 miliar, telah membagikan lebih dari 15 juta buku bacaan bermutu kepada lebih dari 20.000 PAUD dan SD yang paling membutuhkan di pelosok Nusantara.
Pelatihan pemanfaatan buku pun diberikan bagi perwakilan guru dari sekolah penerima buku, dengan 2.000 di antaranya sudah mendapatkan pelatihan pada tahun 2022 dan sisanya diberikan pada tahun 2023.
Program ini kemudian diluncurkan sebagai Merdeka Belajar Episode Ke-23: Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia pada 27 Februari 2023. Program ini membuka jalan bagi anak-anak di berbagai wilayah Indonesia untuk dapat mengakses buku-buku bacaan berkualitas yang sudah dikurasi, dengan harapan merangsang minat baca dan kemampuan literasi.
Melanjutkan inisiatif yang dimulai tahun lalu, Kemendikbudristek menargetkan agar tahun ini 15.000 SD yang kompetensi literasinya masih berada di bawah standar minimum dan belum menjadi sasaran program tahun 2022 bisa mendapatkan bantuan. Di sinilah dibutuhkan peran kita semua untuk bergotong royong bersama dengan pemerintah menyukseskan program perbaikan literasi ini.
Di bawah kepemimpinan Kemendikburistek, bekerja sama dengan Asia Philanthropy Circle (APC) dan Filantropi Indonesia, telah pula diadakan pertemuan dengan anggota kedua organisasi itu, Maret lalu, untuk bergotong royong mendukung misi mengangkat kemampuan literasi ini
Di zaman sekarang, adalah tugas kita bersama, dan tugas kita masing-masing sebagai individu, menjadikan bangsa kita melek literasi dan mendobrak jendela dunia
Yayasan penulis juga ikut ambil bagian di dalamnya.
Upaya meningkatkan literasi terbukti bukan hal mudah, yang langsung akan kelihatan hasilnya dalam waktu singkat.
Mendikbudristek Nadiem Makarim, dikutip media, bahkan meminta masyarakat untuk tak terlalu berharap skor PISA pada 2023 membaik. Ia memprediksi skor PISA tahun ini belum akan membaik. Diungkapkan, untuk menaikkan skor PISA butuh waktu panjang dan kita harus realistis, tidak mungkin skor PISA bisa naik dalam 2-3 tahun, apalagi dengan adanya pandemi Covid-19.
Kita perlu bekerja lebih keras lagi. Kita pernah berhasil membuat bangsa Indonesia melek huruf. Itu di zaman doeloe. Di zaman sekarang, adalah tugas kita bersama, dan tugas kita masing-masing sebagai individu, menjadikan bangsa kita melek literasi dan mendobrak jendela dunia!
J Satrijo Tanudjojo, CEO Global Tanoto Foundation
Sumber : Link